Wednesday, 28 September 2016

Berlomba Jadi Filosof

Oleh: Saya
Setiap manusia punya cita-cita. Jika kita bertanya pada anak-anak tentang cita-citanya maka jawaban yang terlontar galibnya berupa profesi manusia dewasa yang tampak "wah" bagiya, seperti: guru, dokter, tentara, polisi, presiden, dan lain sebagainya. Tapi, sering bertambah usia dan kesadaran cita-cita yang terlontar dimasa kanak-kanak seringkali berubah menyesuaikan realitas dan pengalaman hidup yang dijalaninya.

Sejatinya, cita-cita yang tergambar  dalam imajinasi  anak adalah profesi dalam pemahaman orang dewasa. Olehnya, ia hanya alat. Bukan tujuan. Tujuan apa? Tujuan untuk meraih cita sejati dalam setiap kehidupan manusia, yaitu: KEBAHAGIAAN. Ada yang ingin menjadi presiden, pendidik, dokter, insinyur, ulama, dan lainnya, semua itu didasarkan pada pandangan dalam dirinya bahwa denga menjadi "itu" ia akan bahagia. Dalam kenyataannya, karena sebagian tidak memahami bahwa profesi itu hanyalah alat, tak sedikit yang kemudian merasa kecewa ketika ia mencapai apa yang dicitakan itu karena justru membuat dirinya tak bahagia.

Memilih Jadi Filosof

Filosof adalah orang yang mencintai kebijaksanaan. Filosof bukan profesi, ia adalah predikat yang bisa melekat pada siapa saja asalkan ia bersedia untuk menjadi bijaksana. Berkaitan dengan pengertian ini Dr. Fahruddin Faiz dalam acara rutin ngaji Filsafat di Masjid Jendral Soedirman pernah berkata "setiap orang tidak bisa jadi ahli filsafat, tapi siapapun seharusnya menjadi filosof". Tentang orang bijaksana akan lebih mudah dimengerti jika menyimak contoh berikut yang saya dicuplik  dari buku "Filosof Juga Manusia" karya Dr. Fahruddin Faiz:

Konon, seorang teman Socrates yang ditemuinya bertanya "Tes, tahukan kamu apa yang baru saja aku dengar tentang salah seorang muridmu?"

"Tunggu sebentar," jawab Socrates. "Sebelum kamu bercerita padaku, tolong jawab dulu tiga pertanyaanku, Pertama, sudahkah merasa pasti bahwa apa yang akan kamu ceritkan tentang muridku itu benar?"

"Tidak" jawab temannya, "sebenarnya aku baru mendengar dari orang..."
"Baik", kata Socrates "kedua, apakah yang akan kamu ceritakan tentang muridku adalah sesuatu yang baik?"
"Tidak, tapi sebaliknya" jawab temannya
Socrates melanjutkan "Terakhir, apakah yang akan kamu ceritakan ttang muridku itu bermanfaat?"
"Saya kira tidak" jawab temannya.

Kemudian Socrates berkata "kalau yang akan kamu ceritakan itu tidak benar, tidak baik dan tidak ada manfaatnya, maka aku tak mau mendengarnya."

Begitulah contoh orang bijaksana. Kebijaksanaan Socrates mengantarkannya pada pengakuan pada dirinya bahwa dialah sang Filosof sepanjang masa. Orang bijaksana bukan saja yang tau tentang kebenran dan kebaikan, lebih dari itu orang bijaksana adalah yang juga mengerti bgaimana kebenaran dan kebaikan itu direalisasikan. Filosof sebagai pecinta kebijaksnaan dengan demikian adalah sosok yang penuh kebahagiaan dalam hidupnya, karena selalu memilih berbuat sesuatu yang benar, baik dan bermanfaat. Mungkin sosok itu tak disuka semua orang, tapi filosof selalu berfikir dan bertindak yang terbaik bagi dirinya dan pasti tak merugikan orang lain.

Karena itu ketika Sang Filosof di kritik karena makannya sedikit ia menjawab "Aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan." ketika ia dicela karena banyak diam ia berkata "Tuhan menciptakan dua telinga dan satu lidah untukku agar aku lebih banyak mendengar daripada berbicara." kemudian ia berpesan, "cobalah dulu, baru bercerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirkan dulu, baru berkata. Telitilah dulu, baru putuskan. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Bekerjalah dlu, baru berharap."

Kalau demikian, mengapa kita tak berlomba jadi filosof?,,,
Categories:

0 comments:

Post a Comment