Senin, 10 Oktober 2016, tepat di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, seorang teman mengirim renungan yang menggelitik ke grup Whatsapp. Tidak penting kemudian siapa yang membuat dan mengirim pertama, yang jelas pesan kemudian tersebar dan dibaca banyak orang.
Berjudul ”Negeri Dimas Kanjeng” ringkasan isinya kurang lebih mengingatkan bahwa sebagian besar kita mungkin pernah bermimpi jadi Dimas Kanjeng. Kerja sedikit, duit segudang.
Ada pegawai negeri sipil (PNS) di kehakiman, gaji Rp 8 juta tetapi punya rumah sakit, hotel, dan rumah mewah. Ada perawat rumah sakit swasta yang kaya raya. Juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Semua dari hasil ”menggandakan uang”: menjual perkara, membuat vaksin palsu, hingga memperdagangkan isi perda. Yang penting cepat kaya. Dimas Kanjeng ada di mana-mana, termasuk di sekitar kita. Bahkan, jangan-jangan kita adalah wujud lain Dimas Kanjeng juga....
Di sisi lain, kasus memilukan terus terjadi. Pekan lalu, seorang ibu memutilasi anaknya yang berusia satu tahun. Sebelumnya, gadis berusia 14 tahun diperkosa beramai-ramai, dibunuh, dan mayatnya dibuang ke jurang.
Di manakah batas nalar, ketika cendekiawan pun percaya pada kesaktian Dimas Kanjeng menggandakan uang? Saat seorang ibu membunuh anaknya ataupun memalsu vaksin yang mengancam kesehatan anak-anak penerimanya? Ketika para remaja memperkosa dan membunuh teman sedesanya? Ketika tertangkap tangan korupsi, masih bisa senyum sana sini?
Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai kondisi yang baik pada seseorang sehingga bisa mengenali potensi diri, mampu mengatasi tekanan hidup yang normal, masih produktif, dan mampu berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan diri maupun komunitasnya, sesungguhnya urusan kesehatan jiwa membentang luas. Dari tingkat ringan sampai berat. Dari stres sampai psikopat dan skizofrenia.
Masih menurut WHO, saat ini sekitar 35 juta orang di dunia terkena depresi, 60 juta orang bipolar, 21 juta orang dengan skizofrenia. Di Indonesia—menurut Riset Kesehatan Dasar 2013—enam persen dari jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas, berarti sekitar 14 juta orang, menunjukkan gejala depresi dan kecemasan. Sementara prevalensi skizofrenia mencapai 400.000 orang atau 1,7 orang per 1.000 penduduk.
Namun, untuk menjaga kesehatan jiwa, banyak faktor jadi penentu. Hans Selye, ahli endokrinologi kelahiran Austria, tahun 1936, mendeskripsikan stres sebagai bentuk respons umum terhadap kondisi lingkungan. Karena itu, tak semua stres berdampak negatif. Pada tingkat moderat, stres berfungsi melindungi dan selanjutnya memicu mental beradaptasi. Namun, dalam tingkatan lebih tinggi, stres bisa menyebabkan perubahan patologis dan bahkan kematian (Cecil G Helman dalam Culture, Health, and Illness, 2000).
Model Selye lalu menguraikan faktor-faktor yang bisa membuat individu rentan atau tahan terhadap stres: karakteristik pribadi, lingkungan fisik, sistem dukungan sosial, status ekonomi, dan latar belakang kultural. Hal itu seiring dengan Michel Foucault (Madness and Civilization, 1961) yang melihat kelompok elite—pemerintah, ilmuwan, rohaniwan, profesional, dan sebagainya—sebagai salah satu pemicu gangguan jiwa.
Maka dari itu, sebaliknya kelompok elite juga bisa menguatkan peran membangun kesehatan jiwa dengan memberi rasa aman, membuka lapangan kerja, menjamin kesejahteraan, dan memberi contoh etos bekerja baik, jujur, sekaligus bersungguh-sungguh.
Menyambut Hari Kesehatan Jiwa, inilah saatnya menegakkan nalar yang menghargai harkat kemanusiaan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul "Jiwa Sehat
0 comments:
Post a Comment